Selasa, 20 November 2012

Masa Depan Pertambangan Di Indonesia

AKTIVITAS pertambangan sejak dulu hingga hari ini merupakan industri yang strategis dan vital dalam perekonomian suatu negara. Tak terkecuali di Indonesia, industri pertambangan memegang peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi.
Dalam undang-undang mineral dan batubara (UU Minerba) No 4 tahun 2009, yang dimaksud dengan kegiatan pertambangan ialah (sebagian atau seluruh) kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Dari pemaknaan di atas dapat kita pahami secara sederhana kegiatan pertambangan ialah segala bentuk upaya untuk mengelolah sumberdaya strategis (mineral dan batubara).
Perkembangan industri pertambangan di dalam negeri tentunya tak lepas dari perkembangan politik dalam negeri Indonesia, pada masa pemerintahan Orde Lama. Kebijakan ekonomi yang kurang bersahabat dengan investasi asing pada gilirannya menjadikan kegiatan pertambangan tidak begitu berkembang, karena selain membutuhkan modal besar juga dibutuhkan sumberdaya manusia dan teknologi yang memadai. Ketiga faktor utama ini (modal, manusia dan teknologi) saat itu masih di kuasai dan didominasi oleh asing, sehingga mau tidak mau perkembangan industri tambang dalam negeri sangat tergantung pada penanamam modal asing.
Memasuki Orde Baru, haluan kebijakan ekonomi pun mulai diubah menjadi bersahabat terhadap modal-modal asing. Seiring dengan masuknya modal-modal asing industri pertambangan mulai berkembang. PT Freeport asal Amerika Serikat mengelolah tambang emas dan tembaga di Papua, dan PT Inco (Vale Indonesia) mengelola cadangan nikel di Soroako dengan membangun pabrik pengolahan nikel matte (produk dengan kadar nikel di atas 75 persen).
Hingga hari ini industri pertambangan terus berkembang, baik perusahaan asing maupun lokal saling berlomba-lomba untuk mengelolah barang-barang tambang.
Dengan berlakunya Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, peraturan ini tidak hanya berdampak pada kehidupan politik dan birokrasi di daerah, tetapi juga berdampak langsung pada kegiatan industri tambang. Pada mulanya industri tambang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar, namun di era otonomi banyak muncul pemain baru skala kecil yang tumbuh secara sporadis dan masif.
Bak dua sisi mata uang, di satu sisi otonomi daerah memberikan keleluasaan bagi banyak pihak untuk terlibat dan mendapatkan manfaat ekonomi dari industri pertambangan, namun di sisi lain banyak menimbulkan masalah-masalah baru seperti rusaknya infrastrukur daerah karena jalan umum dilalui oleh kendaraan-kendaraan tambang bertonase lebih. Hal ini tak jarang menimbulkan konflik di tingkat akar rumput antara warga sekitar dan perusahaan tambang.
Banyaknya pihak yang terlibat di pertambangan juga menyulitkan pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan. Belum lagi permasalahan antara perusahaan-perusahaan tambang yang saling berebut lahan, karena tumpang tindihnya izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Pada tahun 2009 pemerintah mengeluarkan UU No 4 tentang Minerba. Undang-undang ini diharapkan industri pertambangan dapat mengolah barang-barang tambang dengan menghasilkan produk-produk yang bernilai tambah (value added products) yang siap dijual di pasar domestik dan pasar internasional.
Dari sini dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan dari peraturan ini baik adanya yaitu mendorong hilirissasi dalam pengelolaan barang tambang. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian paling tidak terdapat belasan (17) perusahaan tambang yang sudah mengajukan proposal untuk mendirikan pabrik pengolahan barang tambang (smelter) di tanah air.
Namun sepanjang pengamatan penulis hingga saat ini ada dua perusahaan yang bisa dikatakan paling serius dalam mendukung upaya pemerintah mendorong hilirisasi industri pertambangan.
Dari sisi asing, ada PT Inco (Vale Indonesai), dalam kunjungan di akhir tahun 2011 CEO Vale Murilo Ferreira kembali menegaskan komitment Vale untuk mendukung program pemerintah Indonesia, yaitu dengan akan dibangunnya pabrik pemurnian nikel di blok Bahudopi (Morowali), dari lokal yang paling gencar adalah PT Antam. Antam kini tengah menjalankan sejumlah proyek pengembangan di antaranya adalah proses pembangunan pabrik feronikel IV di Maluku Utara, pembangunan pabrik Chemical Grade Alumina dan Smelter Grade Alumina di Kalimantan Barat. Antam melalui perusahaan patungan Weda Bay Nickel (Perancis) juga tengah membangun pabrik pengolahan nikel dengan teknologi hidrometalurgi di wilayah Maluku.
Keseriusan dua perusahaan ini hendaknya juga diikuti oleh perusahaan-perusahaan tambang lainnya agara tidak terus-menerus mengeluh terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, tapi terus melakukan aksi-aksi nyata guna mendukung realisassi proyek-proyek pengolahan barang tambang yang bernilai tambah.
Salah satu topik hangat di kalangan pengusahan tambang saat ini ialah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012. Peraturan ini membuat sejumlah kalangan pertambangan ketar-ketir, karena selain dianggap tumpang tindih, peraturan ini oleh sebagian pihak terkesan dipaksakan. Sejumlah kalangan pertambangan meminta agar peraturan ini direvisi atau bahkan dicabut. Para pengusaha tambang hendaknya tidak perlu beraksi sekeras itu, karena peraturan ini sesungguhnya hanyalah warning dari pemerintah agar pada tahun 2014 saat UU Minerba mulai diberlakukan secara penuh semua infrastruktur pengolahan barang tambang yang bernilai tambah sudah siap. Jangan sampai ketika UU minerba berlaku, barang-barang tambang yang hendak diolah sudah habis terkuras.
(Hilmy Konstantinus Deo Amal, Alumnus Universitas Katolik Parahyangan Bandung, Peserta Cooperative Education Program angkatan 17 PT Inco)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar