AKTIVITAS pertambangan sejak dulu hingga hari ini merupakan industri
yang strategis dan vital dalam perekonomian suatu negara. Tak terkecuali
di Indonesia, industri pertambangan memegang peranan penting dalam
pertumbuhan ekonomi.
Dalam undang-undang mineral dan batubara (UU Minerba) No 4 tahun
2009, yang dimaksud dengan kegiatan pertambangan ialah (sebagian atau
seluruh) kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan
mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian,
pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
Dari pemaknaan di atas dapat kita pahami secara sederhana kegiatan
pertambangan ialah segala bentuk upaya untuk mengelolah sumberdaya
strategis (mineral dan batubara).
Perkembangan industri pertambangan di dalam negeri tentunya tak lepas
dari perkembangan politik dalam negeri Indonesia, pada masa
pemerintahan Orde Lama. Kebijakan ekonomi yang kurang bersahabat dengan
investasi asing pada gilirannya menjadikan kegiatan pertambangan tidak
begitu berkembang, karena selain membutuhkan modal besar juga dibutuhkan
sumberdaya manusia dan teknologi yang memadai. Ketiga faktor utama ini
(modal, manusia dan teknologi) saat itu masih di kuasai dan didominasi
oleh asing, sehingga mau tidak mau perkembangan industri tambang dalam
negeri sangat tergantung pada penanamam modal asing.
Memasuki Orde Baru, haluan kebijakan ekonomi pun mulai diubah menjadi
bersahabat terhadap modal-modal asing. Seiring dengan masuknya
modal-modal asing industri pertambangan mulai berkembang. PT Freeport
asal Amerika Serikat mengelolah tambang emas dan tembaga di Papua, dan
PT Inco (Vale Indonesia) mengelola cadangan nikel di Soroako dengan
membangun pabrik pengolahan nikel matte (produk dengan kadar nikel di
atas 75 persen).
Hingga hari ini industri pertambangan terus berkembang, baik
perusahaan asing maupun lokal saling berlomba-lomba untuk mengelolah
barang-barang tambang.
Dengan berlakunya Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah, peraturan ini tidak hanya berdampak pada kehidupan politik dan
birokrasi di daerah, tetapi juga berdampak langsung pada kegiatan
industri tambang. Pada mulanya industri tambang didominasi oleh
perusahaan-perusahaan besar, namun di era otonomi banyak muncul pemain
baru skala kecil yang tumbuh secara sporadis dan masif.
Bak dua sisi mata uang, di satu sisi otonomi daerah memberikan
keleluasaan bagi banyak pihak untuk terlibat dan mendapatkan manfaat
ekonomi dari industri pertambangan, namun di sisi lain banyak
menimbulkan masalah-masalah baru seperti rusaknya infrastrukur daerah
karena jalan umum dilalui oleh kendaraan-kendaraan tambang bertonase
lebih. Hal ini tak jarang menimbulkan konflik di tingkat akar rumput
antara warga sekitar dan perusahaan tambang.
Banyaknya pihak yang terlibat di pertambangan juga menyulitkan
pemerintah pusat untuk melakukan pengawasan. Belum lagi permasalahan
antara perusahaan-perusahaan tambang yang saling berebut lahan, karena
tumpang tindihnya izin yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
Pada tahun 2009 pemerintah mengeluarkan UU No 4 tentang Minerba.
Undang-undang ini diharapkan industri pertambangan dapat mengolah
barang-barang tambang dengan menghasilkan produk-produk yang bernilai
tambah (value added products) yang siap dijual di pasar domestik dan
pasar internasional.
Dari sini dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan dari peraturan
ini baik adanya yaitu mendorong hilirissasi dalam pengelolaan barang
tambang. Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian paling tidak terdapat
belasan (17) perusahaan tambang yang sudah mengajukan proposal untuk
mendirikan pabrik pengolahan barang tambang (smelter) di tanah air.
Namun sepanjang pengamatan penulis hingga saat ini ada dua perusahaan
yang bisa dikatakan paling serius dalam mendukung upaya pemerintah
mendorong hilirisasi industri pertambangan.
Dari sisi asing, ada PT Inco (Vale Indonesai), dalam kunjungan di
akhir tahun 2011 CEO Vale Murilo Ferreira kembali menegaskan komitment
Vale untuk mendukung program pemerintah Indonesia, yaitu dengan akan
dibangunnya pabrik pemurnian nikel di blok Bahudopi (Morowali), dari
lokal yang paling gencar adalah PT Antam. Antam kini tengah menjalankan
sejumlah proyek pengembangan di antaranya adalah proses pembangunan
pabrik feronikel IV di Maluku Utara, pembangunan pabrik Chemical Grade
Alumina dan Smelter Grade Alumina di Kalimantan Barat. Antam melalui
perusahaan patungan Weda Bay Nickel (Perancis) juga tengah membangun
pabrik pengolahan nikel dengan teknologi hidrometalurgi di wilayah
Maluku.
Keseriusan dua perusahaan ini hendaknya juga diikuti oleh
perusahaan-perusahaan tambang lainnya agara tidak terus-menerus mengeluh
terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah, tapi terus
melakukan aksi-aksi nyata guna mendukung realisassi proyek-proyek
pengolahan barang tambang yang bernilai tambah.
Salah satu topik hangat di kalangan pengusahan tambang saat ini ialah
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012.
Peraturan ini membuat sejumlah kalangan pertambangan ketar-ketir, karena
selain dianggap tumpang tindih, peraturan ini oleh sebagian pihak
terkesan dipaksakan. Sejumlah kalangan pertambangan meminta agar
peraturan ini direvisi atau bahkan dicabut. Para pengusaha tambang
hendaknya tidak perlu beraksi sekeras itu, karena peraturan ini
sesungguhnya hanyalah warning dari pemerintah agar pada tahun 2014 saat
UU Minerba mulai diberlakukan secara penuh semua infrastruktur
pengolahan barang tambang yang bernilai tambah sudah siap. Jangan sampai
ketika UU minerba berlaku, barang-barang tambang yang hendak diolah
sudah habis terkuras.
(Hilmy Konstantinus Deo Amal, Alumnus Universitas Katolik Parahyangan
Bandung, Peserta Cooperative Education Program angkatan 17 PT Inco)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar